Post-Traumatic Stress Disorders (PTSD)
Bisakah Diintervensi dengan PFA?
By: Mutia Annisa
Yups, berjumpa lagi dengan hari Sabtu ✊ Kali ini kita akan membahas tentang bantuan dasar (not BHD yaw ๐) psikologis dalam setting
kebencanaan. Sebelum dilanjutkan, mari kita simak dulu video berikut ๐
(visualisasikan seolah-olah terlibat di dalamnya yaa ๐) Check it out!
Mari, umpan balik tentang imajinasi keterlibatan kamu di video tersebut!
(jawablah secara jujur pada dirimu)
So, apa yang kamu rasakan ketika berada di depan korban?
Lalu, apa yang hendak kamu lakukan saat itu?
Bila kamu menjadi tenaga kesehatan, apakah rasanya kamu ingin kabur atau tetap teguh menolong korban? (jujur yakk...)
Apabila kamu (lucky) selamat, ingin kembali ke medan itu lagikah?
Okey, itu Intermezzo dari saya, akan kamu tentukan sendiri posisi ๐ฅ kamu setelah membaca pemaparan berikut ini ๐
(Sumber: https://edition.cnn.com)
Baik, Kaka Almh. Razan al-Najjar (21) menjadi sosok perawat heroik yang fenomenal karena pengabdian yang beliau lakukan di medan perang. Aksi beliau memberikan inspirasi dan motivasi bagi kaum hawa dan pemuda/i tentang bagaimana menjadi manusia yang seutuhnya (Rest in Peace, ya Syahidah ๐). Topik kali ini akan menjelaskan pentingnya penanganan psikologis dalam setting kebencanaan, baik itu bagi korban maupun tenaga kesehatan sendiri. Video tersebut dapat menggambarkan risiko paparan masalah psikologis terhadap korban bencana bahkan petugas kesehatan. Let's see...
Apa itu Post-Traumatic Stress Disorders? ๐
Kecemasan dapat berubah menjadi berbagai jenis gangguan apabila seseorang tidak mampu adaptif terhadap stressor disekitarnya. Salah satu dari gangguan itu disebut Post-Traumatic Stress Disorders (PTSD). Menurut penuturan Dr. Mustikasari (Sekretaris Jenderal PPNI pada kuliah umum Keperawatan Jiwa), kecemasan ini berawal dari suatu bencana yang menyebabkan seseorang mengalami kehilangan - berduka - trauma - stres kronik - posttraumatic stress syndrome (PTSS) hingga menjadi PTSD ketika gejala muncul melebihi 6 bulan sampai 2 tahun.[6]
Ada beberapa definisi dari PTSD, terdiri atas:
Apa itu Post-Traumatic Stress Disorders? ๐
Kecemasan dapat berubah menjadi berbagai jenis gangguan apabila seseorang tidak mampu adaptif terhadap stressor disekitarnya. Salah satu dari gangguan itu disebut Post-Traumatic Stress Disorders (PTSD). Menurut penuturan Dr. Mustikasari (Sekretaris Jenderal PPNI pada kuliah umum Keperawatan Jiwa), kecemasan ini berawal dari suatu bencana yang menyebabkan seseorang mengalami kehilangan - berduka - trauma - stres kronik - posttraumatic stress syndrome (PTSS) hingga menjadi PTSD ketika gejala muncul melebihi 6 bulan sampai 2 tahun.[6]
Ada beberapa definisi dari PTSD, terdiri atas:
a.) Suatu gangguan emosional yang dialami seseorang setelah mendapatkan pengalaman yang merugikan atau kejadian traumatis.[5] [8]
b.) Gangguan kecemasan dimana kebanyakan orang mengalaminya setelah melihat atau hidup dalam kejadian yang berbahaya atau mengancam potensi kehidupan atau berpotensi kematian.[7] [12]
c.) Suatu gangguan mental (perkembangan psikologis) yang ditandai dengan gejala kekacauan, penghindaran, status kognitif yang negatif, dan arousal —melakukan hal yang sama ketika kejadian traumatis muncul secara langsung ataupun tidak langsung.[11] [13]
d.) Kejadian traumatis atau stressor yang tinggi —peperangan, kekerasan fisik, atau bencana alam— pada penderita yang ditandai dengan depresi, kecemasan, flashback, mimpi buruk berulang, atau penghindaran saat mengingat kejadian.[10]
Faktor pemicu PTSD meliputi (1) karakter kecelakaan, seperti bencana alam atau ulah manusia (peperangan); (2) faktor biologis, seperti hereditas atau gangguan saraf; (3) faktor psikologis, seperti respon stres dan koping; (4) faktor sosial, seperti dukungan luar; dan (5) faktor risiko, seperti tinggal di lokasi kejadian.[3] [4] [7] [8] [10] [12]
Berdasarkan faktor tersebut, penderita akan memperlihatkan gejala secara fisik, psikologis, dan psikosomatik sebagai berikut.[2] [7] [8] [10]
1.) Perasaan mengalami kembali (re-enxperiencing)
Dapat terwujud dalam bentuk kilas balik
kejadian atau flashbacks (diikuti dengan
peningkatan denyut jantung dan berkeringat), mimpi buruk, kesulitan tidur,
pergejolakan, dan emosi negatif terhadap peristiwa tersebut.
2.) Keinginan untuk menghindari semua stimulus
yang berhubungan dengan peristiwa traumatis (avoidance)
Individu cenderung menarik diri dari
lingkungan sosialnya sehingga terjadi penurunan dalam berpikir dan aktivitas
sehari-hari. Individu tersebut juga memiliki perasaan bersalah yang
kuat, depresi, atau takut, serta kesulitan untuk mengingat kejadian
traumatisnya.
3.) Peningkatan kesadaran yang berlebihan (hyperarousal)
Individu akan meningkatkan kewaspadaannya terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya untuk dirinya. Individu akan mudah kaget dan memiliki perasaan marah yang meledak-ledak.
Post-Traumatic Stress Disorders (PTSD) dapat terjadi di berbagai kalangan umur, khususnya orang dewasa. PTSD kerap ditemukan paling tinggi pada profesi perawat, khususnya perempuan, ataupun orang dengan tingkat edukasi yang rendah. Bekerja sebagai perawat memiliki risiko tinggi —saksi mata suatu kejadian/pengalaman personal terkait pertolongan gawat darurat yang mengancam jiwa— dan akan berkembang menjadi post-traumatic stress. Perawat biasanya menghadapi dua jenis stressor, yaitu:[9]
1.) Situasi traumatis, seperti ancaman hidup atau integritas fisik, saksi pembunuhan, bencana alam, penerima informasi terkait ancaman seirus, dan penolong anak-anak.2.) Stressor kronis, seperti beban kerja yang berlebihan, organisasi yang lemah, konflik pekerjaan, serta keperluan untuk shift malam.
Hal ini perlu ditindaklanjuti dan saya mendapatkan penjelasan bahwa ada yang namanya PFA atau Psychological First Aid. Ilmu ini didapatkan ketika mengikuti In Camp Training Batch III, Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) tahun 2017. Narasumber menjelaskan bahwa pertolongan ini harus dimulai dengan peduli pada diri sendiri dan dipraktikkan pada orang lain.
"Apa yang saya lakukan untuk merawat diri sendiri? Apa yang tim/anggota keluarga/kolega saya lakukan untuk merawat diri sendiri"
"muka kucel ๐ฉ kami yang belum mandi (lagi) setelah training: got the reward as the best team"
(Sumber: Dok. Pribadi, 2017, "In Camp Training Batch 3")
(Sumber: Dok. Pribadi, 2017, "In Camp Training Batch 3")
Psychological First Aid (PFA) merupakan manusiawi, suportif, dan bantuan yang bersifat praktis kepada sesama manusia yang baru saja menderita akibat terpapar tekanan yang serius.[1]
Misalkan, setelah suatu kejadian krisis...
Misalkan, setelah suatu kejadian krisis...
"SIAPA yang mungkin mendapatkan manfaat dari PFA? SIAPA yang mungkin memerlukan dukungan lebih lanjut? KAPAN seharusnya PFA disediakan? DIMANA seharusnya PFA disediakan?"Jawabannya,
SIAPA = orang-orang yang sangat tertekan; yang baru saja terpapar kejadian yang sangat menekan. Bisa diberikan kepada dewasa dan anak-anak. Tidak semua orang yang mengalami krisis menginginkan PFA. Dukungan lebih lanjut diperlukan pada orang yang mendapatkan luka (mengancam jiwa); tidak mampu merawat dirinya; kemungkinan dapat menyakiti diri sendiri dan orang lain.
KAPAN = ketika terjadi kontak awal dengan mereka yang mengalami kejadian/tekanan, misal setelah terjadi bencana atau beberapa hari/minggu pasca bencana.
DIMANA = senyaman dan seaman mungkin dan idealnya diberikan privasi
(Sumber: Dok. Pribadi, 2017, "media mendongeng untuk anak, PFA")
Saya juga terlibat dalam kegiatan simulasi PFA saat itu. Narasumber meminta beberapa orang untuk berperan dan saya selaku "korban" menceritakan perasaan ketika Gempa Sumatera 2009. Beberapa rekan ada yang menangis ketika melakukan visualisasi yang seolah-olah dirasakan kembali. Penekanan narasumber pada tim penolong PFA terhadap tiga prinsip, yaitu Melihat, Mendengar, dan Menghubungkan.
(Sumber: Dok. Pribadi, 2018)
(Sumber: Dok. Pribadi, 2018)
Kelompok tertentu juga membutuhkan perhatian khusus, seperti anak-remaja, disabilitas, atau orang yang berisiko/rentan kekerasan. Lakukan komunikasi yang baik. TALK LESS, LISTEN MORE!
Dalam situasi emergency, saya juga ingat quotes Ns. Arcel (PhD candidate in Emergency Nursing Education and Service, University of Edinburgh) dalam forum Open House NuFA FIK UI 2018,
Kembali ke Intermezzo di awal sesi,"tidak semua mampu; dari sedikit yang mampu, hanya segelintir yang mau"
Apa pilihanmu ketika berada di setting bencana?
Tetap ingin membantu atau memutuskan untuk flight?
May Allah bless us, guys....
Referensi:
[1]BSMI DKI Jakarta. (2017). Psychological First Aid (PFA). Jakarta.
[2]Chappelle, W., Goodman, T., Reardon, L., & Thompson, W. (2014). An
analysis of post-traumatic stress symptoms in United States Air Force drone
operators. Journal of Anxiety Disorders, 28(5), 480–487.
doi:10.1016/j.janxdis.2014.05.003
[3]Furtado, M., & Katzman, M. A. (2015). Neuroinflammatory pathways in
anxiety, posttraumatic stress, and obsessive compulsive disorders. Psychiatry
Research, 229(1-2), 37–48. doi:10.1016/j.psychres.2015.05.036
[4]Hobbs, K. (2014). Which factors influence the development of
post-traumatic stress disorder in patients with burn injuries? A systematic
review of the literature. Burns, 41(3), 421–430. doi:10.1016/j.burns.2014.10.018
[5]Mรผller, M., Vandeleur, C., Rodgers, S., Rรถssler, W., Castelao, E.,
Preisig, M., & Ajdacic-gross, V. (2015). Posttraumatic stress avoidance
symptoms as mediators in the development of alcohol use disorders after
exposure to childhood sexual abuse in a Swiss community sample. Child Abuse
& Neglect, 46, 8–15. doi:10.1016/j.chiabu.2015.03.006
[6]Mustikasari. (2015). Posttraumatic Stress Syndrome dan atau Prosttraumatic
Stress Disorder. Depok: Nursing Faculty, University of Indonesia.
[7]National Institute of Mental Health. (n.d.). Post-Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Bethesda. Retrieved from http://www.nimh.ni.gov
[8]Pratiwi, C. A., Karini, S. M., & Agustin, R. W. (2012). Perbedaan
tingkat post-traumatic stress disorder ditinjau dari bentuk dukungan emosi pada
penyitas erupsi merapi usia remaja dan dewasa di Sleman, Yogyakarta. Jurnal
Wacana Psikologi, 4(8), 86–115. Retrieved from
http://jurnalwacana.psikologi.fk.uns.ac.id/index.php/wacana/article/view/22/22
[9]Rybojad, B., Aftyka, A., Baran, M., & Rzonca, P. (2015). Risk factors
for posttraumatic stress disorder in polish paramedics: a pilot study. The
Journal of Emergency Medicine, (May), 1–7.
doi:10.1016/j.jemermed.2015.06.030
[10]Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing
(10th ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby.
[11]Townsend, M. C. (2014). Essentials of psychiatric mental health
nursing: concepts of care in evidence-based practice (6th ed.).
Philadelphia: F. A. Davis Company.
[12]Voisey, J., Young, R. M., Lawford, B. R., & Morris, C. P. (2014).
Progress towards understanding the genetics of posttraumatic stress disorder. Journal
of Anxiety Disorders, 28(8), 873–883.
doi:10.1016/j.janxdis.2014.09.014
[13]Weiss,
N. H., Tull, M. T., Sullivan, T. P., Dixon-gordon, K. L., & Gratz, K. L.
(2015). Posttraumatic stress disorder symptoms and risky behaviors among
trauma-exposed inpatients with substance dependence: the influence of negative
and positive urgency. Drug and Alcohol Dependence, 155, 147–153.
doi:10.1016/j.drugalcdep.2015.07.679
Terima kasih sudah bercerita
ReplyDeleteAlhamdulillah,
ReplyDeleteSemoga berkenan dan berkah :-D